1. SEJARAH DESA MRONJO DARI MASA KE MASA
  2. Mronjo pada Masa Kerajaan Kediri Kuno

Desa Mronjo yang terletak di tepi sungai Brantas pada masa kuno sejarahnya  tidak lepas dari peninggalan  yang ada. Dari penuturan para sesepuh Desa Mronjo yang ada di Dusun Kebonrejo. Semua peninggalan yang sekarang berada di Situs Mronjo atau dulunya disebut Watu Bonang. Dulunya berasal dari tepi Sungai Brantas. Bahkan patung-patung banyak diketemukan di tepi sungai Brantas. Adanya peninggalan yang berupa Lingga dan Yoni maupun patung patung dan batuan candi yang betebaran meunjukkan bahwa pada masa kuno atau pada pemerintahan Hindu Budha komunitas masyarakat sudah berkembang . Seperti disampaikan oleh para ahli kependudukan bahwa alur pemukiman pada daerah aliran sungai yang pada saat itu berfungsi sebagai jaiur lalu lintas maka umumnya polanya adalah memanjang di tepi sungai. Hal ini bisa kita saksikan pada daerah Sumatra maupun Kalimantan. Berdasar dari kondisi tersebut maka Dusun Kebonrejo merupakan awal berkembangnya komunitas tua di Desa Mronjo.

Bukti pendukung kondisi ini adalah adanya prasasti Njaring.  Dalam Prasasti Njaring  berisi antara lain :” Raja Gandra dari Kadiri  hanyalah menambahkan anugerah yang dulu pernah diterima oleh penduduk Njaring, karena penduduk setempat telah membantu Raja ketika menghadapi musuhnya, selain itu juga menyebutkan suatu jabatan tinggi dalam Kerajaan yaitu Surapati Sarwajala artinya panglima angkatan laut ( Krom ,1952 : 157). Hal ini jelas menunjukkan bahwa Kerajaan Kediri adalah Kerajaan maritim yang kehidupannya dari berdagang. Bukti ini diperkuat lagi adanya penjelasan dari prasasti Njaring sebagai berikut : alasan Raja Gandra meberikan hadiah adalah karena penduduk Njaring berbakti kepada Raja Gandra dengan menambah penghasilan Kerajaan – Kerajaan, menjaga keamanan dan kelancaran penambangan orang-orang yang berdagang  “.

Apabila kita perhatikan jarak Dusun Kebonrejo dengan Njaring melalui sungai Brantas maka jaraknya tidak ada 5 km, sehingga sangat memungkinkan adanya interaksi timbal balik antara 2 komunitas tersebut. Memang kalau dilihat sungai Brantas yang sekarang keadaanya sudah tidak sedalam dan seluas dulu, rusaknya ekosistim ,berkurangnya tumbuhan besar penyimpan air telah membuat sungai Brantas menjadi sempit dan dangkal. Sangat dimungkinkan sebagai daerah subur yang ada di tepi Brantas pasti memiliki komoditas yang dapat dipakai sebagai barang dagangan.

 

Gambar 1 : Lingga Yoni atau Watu Jago yang ada di  Situs Mronjo atau Watu Bonang

 

Seperti nama Dusun Kebon Rejo atau Kebon Rojo. Nama ini memiliki makna sebuah kebun yang akhirnya berkembang komunitas di situ sehingga menjadi  rejo atau ramai. Andai berasal dari Kebon Rojo yang berarti kebon miliknya Raja . Dua nama ini sama – sama bermaknanya bagi Dusun Kebonrejo. Batu lempengan cikal bakal prasasti yang ada di belakang rumah penduduk merupakan bukti bukti bahwa di Dusun Kebonrejo merupakan tempat istimewa pembuatan prasasti. Pastilah daerah ini istimewa bagi pemerintahan  yang berkembang saat itu.

 

Gambar 2 : Batu lempengan Cikal Bakal Prasasti

 

 

Menurut penduduk jumlah lempengan batu cikal bakal pembuatan prasasti ini jumlahnya banyak . Ada yang masih kasar ada yang sudah halus, malahan menurut penduduk ada yang digunakan sebagai alas jembatan gorong gorong saluran air sawah yang sekarang sudah tertindih aspal dan menjadi jalan aspal. Dan masih ada satu yang  tidak bisa bisa dipindahkan ,sekarang berada di belakang rumah penduduk.

Peninggalan lain pada masa Kediri adalah diketemukannya batuan candi yang betebaran di rumah penduduk, Batuan ini cukup banyak, tetapi pada saat Tim dari BP 3 Mojokerto meneliti bersama TIM Arkheolog dari Jogja tidak mampu merangkai karena unsur penunjang sangat kurang. Kemuncak candi juga diketemukan dan menurut TIM Arkheolog dari Jogja adalah peninggalan dari masa Kediri . Pemastian ini berdasar dari jenis ornament yang ada pada kemuncak candi. Kebetulan saat TIM peneliti datang kemuncak candi ini dimanfaatkan sebagai tiang bendera, sekarang disimpan di Musium Majakerto.

 

Gambar 3 : Batuan Candi atau Kemuncak Candi

 

  1. Mronjo pada Masa Kerajaan Singasari

Pada masa Kerajaan Singasari  daerah aliran sungai Brantas termasuk daerah Kebonrejo banyak mendapat perhatian. Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya penulisan pada sebuah arca Ganesha yang sekarang berada di Desa Boro Kademangan. Inskripsi itu merupakan kalimat yang mengandung angka tahun yang berbunyi “ Hana Ghana Hana Bhumi “  yang bernilai angka 1611 atau yahun saka 1161 bertepatan dengan tahun masehi 1239. Berarti adanya Desa Boro dahulu telah dikenal semasa pemerintahan Raja Anusapati ( 1227-1248) dari Kerajaan Singasari. Adanya patung Ganesha itu sendiri menunjukkan bahwa di daerah Kademangan sekarang dikenal sebagai pudan bengkel seni patung.

Arti ganesha pada tepi sungai Brantas terkait dengan mitologi agama Hindu. Ganesha adalah dewa yang menolak kekuatan – kekuatan jahat atau disebut “Wigneswara”. Penenmpatan patung itu selain merupakan pernyataan adanya kekuasaan Raja Singasari sekaligus merupakan penolak bahaya , memberikan perlindungan keselamatan bagi orang orang yang menyeberang sungai Brantas.

Berkaitan dengan hal tersebut diatas maka Kebonrejo termasuk daerah yang menjadi pusat perhatian. Adanya Situs Mronjo atau Watu Bonang menunjukkan bahwa ada fungsi yang sama dalam pemerintahan sejaman. Ketika diadakan penggalian “situs Watu Bonang “  oleh TIM BP 3 dan TIM Arkheologi dari Jogja di Dusun Kebonrejo maka dapat disimpulkan bahwa pada masa ini cenderung banyak pemuja dewa Syiwa dengan pusat kekuatan religius kearah gunung kelud. Adanya Lingga Yoni sebagai lambang kesuburan merupakan lambang Syiwa dengan istrinya. Sedangkan batu yang dibentuk mirip Bonang ( gamelan jawa ) adalah merupakan batu umpak penyanggga tempat pemujaan tersebut.

Gambar 4 : Situs Mronjo atau Watu Bonang

Gambar 5 : Mbah Sahlan juru kunci Situs Mronjo / Watu Bonang

 

Adanya situs yang ada menunjukkan bahwa pada pemerintahan Singasari daerah Kebonrejo banyak keterkaitan, utamanya kedudukannya sebagai daerah tepi Brantas. Diberbagai pelosok daerah di Kebonrejo banyak terpendam benda benda sejarah seperti batu terbang dan berbagai jenis patung . Tetapi sayang ketika baru diangkat dipermukaan dan dibawa ke situs Watu Bonang, malamnya raib dicuri maling. Bukti bukti sejarah yang lain banyak yang terjual karena ketidak mengertian penduduk pada masa lalu.

 

Gambar 6 : Batu Terbang

  1. Mronjo pada Masa Kerajaan Majapahit

Keberadaan Dusun Kebonrejo di tepi aliran sungai Brantas rupanya sangat mendapat perhatian dari jaman ke jaman.  Menurut penduduk setempat dan berdasarkan peninggalan yang ada, di Dusun Kebonrejo ada satu makam yang dipercaya sebagai makam Raja Brawijaya . Entah Raja Brawijaya yang ke berapa, yang jelas banyak kalangan yang mempercayainya. Komplek makam berada di sebelah utara situs Watu Bonang. Makam tersebut berada diantara perumahan padat penduduk.  Bentuk makam seperti makam biasa tetapi lapik nisannya tertata batuan candi yang sudah berantakan. Susunan kaki candi badan candi dan puncaknya tidak tampak, bentuknya malah cenderung seperti makam, hanya bedanya pengapit nisannya menggunakan lempengan batuan candi. Menurut juru kunci yang turun tumurun setiap malam jum’at pasti ada orang yang berziarah ke makam tersebut.

 

Gambar 7 : Sebuah Makam yang oleh penduduk diyakini sebagai Makam Brawijaya

 

Dalam kepercayaan Hindu , memang seorang yang dipuja dan dimuliakan akan disimbulkan dewa – dewa yang dipuja. Biasanya dicandikan lebih di satu tempat. Contoh Raja Wijaya sebagai pendiri Majapahit, selain dicandikan di antahpura juga dicandikan di Simping Kademangan. Benar atau tidak bukti pendukung sangatlah terbatas. Tetapi prilaku kelompok yang dilakukan secara turun temurun pastilah beralasan. Setidaknya ada petinggi zaman Majapahit yang dimakamkan di situ.

Dalam perjalanan sejarah di dekat Dusun Kebonrejo ada Dusun yang namanya Kebonsari dan Sumberraden. Ini jelas bukan nama biasa. Dari penuturan penduduk dulu di Dusun Sumberaden ada sumber atau mata air. Bisa juga Sumber raden diartikan sebagai pusat tempat tinggal para raden atau sumber mata air yang digunakan para raden. Sedangkan kebon sari dapat diartikan kebon pada putri atau keputren. Nama nama kebon rejo, kebon sari, sumberraden tentunya bukan sekedar nama biasa. Kebon rojo yang berasal di tepi sungai Brantas pastilah tidak lepas dari penguasa dari jaman ke jaman.

 

Gambar 8 : Sumber atau Mata Air yang terdapat di Sungai Raden Dusun Sumberaden

Menurut narasumber para sesepuh Desa, dulu sebelum masuk ke wilayah Dusun Kebonrejo ditandai dengan gapura yang berhiaskan makara, tetapi sayang tidak ada yang bisa menyebutkan kemana raibnya barang tersebut. Banyaknya pagar batu bata merah ukuran batu Majapahit menujukkan bahwa di wilayah itu pastilah pernah dimanfaatkan oleh penguasa saat itu. Hanya karena daya dukung yang sangat  rendah sehingga tidak bisa diungkap secara jelas. Yang jelas dalam kepercayaan masyarakat, ikatan dengan majapahit melalui Rajanya yaitu Raja Brawijaya sangat tinggi.

 

  1. Mronjo pada Masa Perkembangan Islam

Seiring dengan masuknya perkembangan Islam Desa Mronjo hampir mayoritas beragama Islam . Kalau melihat keadaan Masjid masjid yang ada ,hampir semua padusunan memiliki  masjid besar.  Dalam perkembangannya terdapat 5 Dusun di Desa Mronjo; Dusun Mronjo, Dusun Bendilmalang, Dusun Sumberaden, Dusun Kebonsari dan Dusun Kebonrejo.  Ibukota Desa   telah bergeser menuju ke akses jalan raya. Disini rupanya terjadi perkembangan masyarakat.

Gambar 9 : Masjid “Al Ibrohimi” di Dusun Mronjo

(masjid yang tertua di Desa Mronjo)

 

Besarnya pengaruh Islam yang masuk di Desa Mronjo mengakibatkan semakin banyaknya lembaga-lembaga atau organisasi Islam yang berdiri. Misalnya di pendidikan dasar ada 2 (dua) Madrasah Ibtida’iyah yaitu terletak di Dusun Kebonrejo dan di Dusun Mronjo. 2 sekolah tersebut sangat diminati oleh masyarakat, Pondok anak-anak “Mamba’ul Hisan”, terdapat juga pondok putri bagi penghafal Al Qur’an yaitu “Wassilatul Salamah”. Demikian juga Tempat tempat pendidikan AL Quran ( TPQ )  hampir disemua lingkungan ada. Dapat dikatakan bahwa Desa Mronjo masyarakatnya sangat Islami.

 

Gambar 10 : Salah Satu  MI Desa Mronjo

MI MWB MRONJO

 

 

  1. Mronjo pada Masa Kolonial

Desa Mronjo pada masa kolonial tidak lepas dari  daerah yang lain. Bukti sejarah kolonoal yang bisa kita angkat untuk wilayah Blitar adalah terbentuknya Kabupaten Blitar. Tentu saja terbentuknya Kabupaten Blitar erat hubungannya dengan wilayah wilayah yang tergabung di dalamnya. Termasuk Desa Mronjo tentu besar kaitannya.

Terbentuknya wilayah Kabupaten Blitar untuk pertama kalinya tertuang dalam dokumen adalah adanya momentum terbitnya Resolusi tanggal 31 Desember 1830 . Menurut Resolusi Kabupaten Blitar, luas wilayahnya belum seperti sekarang ini, karena Srengat masih Kabupaten yang berdiri sendiri, demikian pula Wlingi ke selatan masih bagian dari Kabupaten Hantang. Namun demikian telah memiliki dasar yang kuat pembentukan pemerintah Kabupaten yang disebut Regentntschap dan wilayahnya desebut Afdeling Blitar dengan kepala daerah Regent atau Bupati . Sedangkan Bupati yang pertama adalah Raden Mas Arjo Ronggo Hadinegoro.

Seiring dengan perkembangan perkebunan yang dikembangkan oleh pihak asing maka infrastruktur mulai dibangun.  Kantor pos, sekolah- sekolah,   stasiun-stasiun kereta api dan sebagainya. Pejabat pemerintah mulai diadakan dibawah Bupati ada Asisten Residen, Mantri Wedana,  Asisten Wedana dan sebagainya. Penataan kota – kota pada saat itu tidak lepas dari kepentingan Belanda atas usahanya di bidang industry gula. Karena hampir seluruh karyawan di sekitar pusat pemerintahan Blitar merupakan areal penanaman tebu . semuanya itu untuk pabrik gula Garum, Pabrik Gula Kunir, Pabrik Gula Kenongo ( Wlingi ) . Untuk kepentingan itu banyak jalur jalur angkutan tebu ( lori ) seperti Plosokerep – Kanigoro – Selopuro – Wlingi, Kanigoro – Garum, dan sebagainya.

Bersamaan dengan ini maka pusat ibukota Desa Mronjo pindah ke Dusun Mronjo kerajan seperti sekarang. Hal ini dikarenakan akses pemerintahan Belanda berada di sebelah utara sungai Brantas. Perpindahan ini berkaitan dengan adanya pembangunan jalur antar kota, antar kecamatan dan antar propinsi. Perjalanan ke kota Blitar dan ke Malang melalui jalur selatan membuat posisi Desa Mronjo menjadi sangat penting. Pembangunan jembatan sungai lekso telah membuat Desa Mronjo menjadi strategis. Sepanjang jalur jalan alternatif ini mengakibatkan  sepanjang jalan dipenuhi dengan perumahan.

 

Gambar 11 : Masuk Desa Mronjo

 

  1. Mronjo pada Masa Perjuangan Kemerdekaan

Pada waktu Negara Indonesia dijajah oleh Bangsa Belanda, penindasan, pemerasan dan keserakahan sangatlah meRajalela. Sampai – sampai rakyatpun banyak yang berusaha menyelamatkan diri dan hidup di daerah pedalaman yang dianggap tersembunyi dan aman dari kejaran kaum penjajah Belanda. Pada waktu itu termasuk daerah Mronjo, sebab Desa Mronjo adalah daerah yang subur dan makmur, dan di Desa Mronjo saat itu terkenal banyak orang yang mampu atau kaya, sehingga aparat pemerintah Belanda saat itu sering datang ke Desa Mronjo, bahkan pihak penjajah Belanda juga mencurigai Desa Mronjo merupakan daerah yang dipergunakan untuk tempat persembunyian sekaligus markas para Pejuang Kemerdekaan.

Kecurigaan pihak Belanda akan adanya pejuang kemerdekaan memang benar adanya, karena dapat dikatakan Desa Mronjo waktu itu merupakan basis para pasukan Tentara Republik Indonesia. Ada beberapa Pasukan Tentara yang pernah bermarkas atau singgah di Desa Mronjo, antara lain ; “Pasukan Hijrah”, pasukan tentara “TRIP” yang dipimpin oleh Bapak Mudayat dan pasukan “Tentara Branjangan Regu I” yang dipimpin oleh Bapak Supadi. Namun dari beberapa Pasukan yang pernah bermarkas di Desa Mronjo, hanya Pasukan “Tentara Branjangan Regu I” yang selalu dikenang oleh masyarakat Desa Mronjo. Yaitu peristiwa penghadangan oleh Tentara Branjangan Regu I terhadap patroli pasukan Belanda, tepatnya diatas jembatan sungai Srondol.

Waktu itu hari “Senin Pahing” pasukan Branjangan Regu I dengan persiapan tempur menggunakan senjata otomatis jenis “Lewes” dengan juru tembak seorang anggota regu yang bernama Trimo telah mempersiapkan diri diatas sungai Srondol. Tepat jam 9 pagi ketika rombongan tentara Belanda melintas langsung dihujani dengan tembakan dari senjata otomatis tadi. Karena tentara Belanda tidak siap dan tidak membayangkan akan adanya penghadangan, merekapun tidak dapat mengadakan perlawanan, bahkan satu peleton tentara Belanda ketika itu hampir mati semua. Namun karena mesin senjata otomatis dari Pasukan Branjangan macet, beberapa tentara Belanda dapat melarikan diri sambil mengadakan perlawanan secara membabi buta hingga mengenai seekor Lembu dari salah satu warga. Seandainya mesin senjata otomatis tadi tidak macet atau mati dapat dipastikan seluruh anggota pasukan Belanda tadi sudah mati semua. Beberapa mayat tentara Belanda yang tidak sempat dibawa lari teman-temannya, oleh penduduk Desa Mronjo diantar ke markas mereka yang terletak di Kelurahan Kenongo – Wlingi.

Adapun Lembu yang terkena peluru nyasar pasukan Belanda tadi dari pada mati mubadzir, oleh yang punya yaitu (almarhum) Mbah Haji Sholeh disembelih dan dagingnya dibagi-bagikan kepada para penduduk. Berita penyembelihan Lembu ini akhirnya sampai ke telinga pihak Belada dan oleh mata-mata Belanda dibesar-besarkan, bahwa warga Desa Mronjo sedang berpesta karena telah berhasil membunuh pasukan Belanda.

Pihak tentara Belanda marah besar mendengar berita tersebut. Keesokan harinya ketika masih  pagi buta, sekitar jam 3 pagi tentara Belanda mengadakan operasi pembersihan, para pemuda Desa dan mereka yang dianggap Tentara Republik Indonesia ditangkap. Ada sekitar 15 orang dari Dusun Bendilmalang dan Sumberaden yang ditembak hingga mati, namun sebagian masih hidup karena pura-pura mati meskipun harus cacat seumur hidup.

Pihak Belanda rupanya belum puas hanya sampai disitu dalam melakukan pembalasan. Dua hari setelah peristiwa penghadangan tersebut, tepatnya Hari Rabu Wage sekitar pertengahan bulan April tahun 1949 sekitar jam 10 pagi, Belanda mengirimkan 6 pesawat tempur, mereka selanjutnya membombardir dan menghujani dengan peluru sehingga menyebabkan Desa Mronjo porak poranda. Tidak hanya kerugian meteriil, tetapi ada sekitar 10 orang warga Desa Mronjo yang meninggal akibat peristiwa tersebut, termasuk istri Kepala Desa waktu itu bersama ketiga anaknya dan dua orang pembantunya.

Peristiwa tersebut, penduduk Desa Mronjo menyebutnya Peristiwa “Rebo Wage”, sebuah peristiwa besar dan sangat membekas disetiap benak warga yang tidak akan pernah bisa dilupakan oleh warga Desa Mronjo.

Adapun nama-nama dari anggota pasukan Branjangan Regu I yang pernah berjuang di Desa Mronjo yaitu :

  1. Supadi Komandan Pasukan
  2. Mohammad Kholil Anggota
  3. Tamin Anggota
  4. Abin Anggota
  5. Joni Karman Anggota
  6. Suyono Anggota
  7. Trimo Anggota
  8. Marsehat Anggota
  9. Wito Anggota
  10. Kadeno Anggota

 

Gambar 12 : Jembatan sungai Srondol, disinilah pasukan tentara Belanda dihadang dan diserbu oleh Tentara Branjangan Regu I.

 

Gambar 13 : Salah satu rumah yang terkena Bom dari Tentara Belanda dalam peristiwa “Rebo Wage”.

 

 

  1. Mronjo pada Masa Pasca Kemerdekaan

Setelah era kemerdekaan Desa Mronjo masuk kedalam wilayah Kecamatan Talun, baru pada tahun 1999 Desa Mronjo masuk ke wilayah Kecamatan Selopuro seiring denga pengembangan wilayah yang ada di Kabupaten Blitar.

Adapun kepala Desa yang pernah menjabat hingga sekarang adalah sebagai beriikut:

  1. KANTAR (1865 – 1915)
  2. MOREJO (1915 – 1917)
  3. MAT KARSO (1917 – 1925)
  4. ABDUL ROCHIM (1925 – 1945)
  5. ICHWANUDIN (1945 – 1984)
  6. NURUDIN (1984 – 1994)
  7. ACHMAT NUR (1994 – 2002)
  8. NGALIM SANTOSO (2003 – Sekarang)

 

  1. ASAL USUL DESA MRONJO DAN NAMA DESA MRONJO BESERTA PERKEMBANGAN KEBUDAYAANNYA

 

  1. Asal usul Desa Mronjo dan Nama Desa Mronjo

Pada jaman dahulu daerah Mronjo merupakan hutan belantara yang belum dihuni, sedangkan orang yang pertama babad hutan tersebut terdiri dari 4 (empat) orang. Keempat orang tersebut diutus oleh gurunya yang menetap di kawasan Kerajaan Singosari untuk babad hutan yang nantinya akan digunakan sebagai suatu perkampungan, yang mana perintah dari sang guru tersebut sebelumnya mendapat wangsit/petunjuk yang ia peroleh. Adapun keempat murid tersebut bernama :

  1. Jongkiling
  2. Tegopati
  3. Onggopati
  4. Kyai Jodang

 

  1. Jongkiling

Jongkiling adalah murid tertua dari sang guru yang memberikan tugas pada mereka untuk babad tanah di daerah Mronjo yang kita kenal sekarang ini, dan sekaligus sebagai ketua dari keempat orang tersebut. Mbah Jongkiling, demikian masyarakat Desa Mronjo menyebutnya, merupakan orang yang dianggap berjasa dalam melakukan babad pertama kali di Desa Mronjo, sehingga setiap ada ritual atau upacara adad di Desa Mronjo atau setiap penduduk yang kirim leluhur, sudah pasti nama Mbah Jongkiling selalu disebut.

Ada beberapa cerita yang beredar di masyarakat Desa Mronjo mengenai dari Mbah Jongkiling, baik mengenai kesaktian yang dimilikinya maupun sepak terjang dan peran beliau dalam mempertahankan wilayah Desa Mronjo, diantaranya yaitu :

  1. Konon karena kesaktian dan ilmu kanuragan yang dimilikinya sangat tinggi sehingga Mbah Jongkiling bisa berubah wujud menjadi Asu Baung (Serigala) dan juga bisa berubah menjadi Macan Putih. Setelah beliau meninggal, apabila di Desa Mronjo akan terjadi peristiwa penting atau terjadi Pageblug / Aratan (wabah penyakit ganas yang meRajalela), pasti di batas Desa akan terdengar lolongan asu baung atau serigala sebagai tanda akan terjadi sesuatu di Desa Mronjo. Cerita lain berkaitan dengan kesaktian mbah Jongkiling bisa berubah menjadi Macan Putih. Pernah pada suatu ketika terjadi kemarau yang sangat panjang di Desa Mronjo, sehingga untuk mengairi sawah perlu adanya giliran diantara para petani, karena sama-sama tidak sabar para petani tersebut akhirnya terjadi pertengkaran hebat memperebutkan jatah giliran air, dan bahkan nyaris terjadi perkelahian diantara mereka. Tanpa diketahui oleh mereka, tiba-tiba disamping mereka telah berdiri seekor Macan Putih yang sangat besar, karena ketakutan maka berlarianlah mereka sehingga perkelahianpun tidak terjadi.
  2. Menurut cerita dari narasumber setidaknya ada 2 (dua) perampokan yang pernah gagal terjadi di Desa Mronjo karena kesaktian dari Mbah Jongkiling ;

Pertama, pada waktu itu Desa Mronjo didatangi sekawanan perampok dari luar daerah, akan tetapi ketika para perampok itu melintasi tapal batas Desa Mronjo yang ada dihadapan mereka adalah sebuah hutan belantara yang dihuni oleh segerombolan Macan Putih, sehingga para perampok tersebut tidak jadi melakukan tindak kejahatan di Desa Mronjo.

Kedua, dahulu pernah sesepuh Desa Mronjo mendapat surat dari sekawanan perampok bahwa dalam waktu dekat Desa Mronjo hendak didatangi perampok yang intinya hendak merampas harta benda para warga. Setelah melalui musyawarah dengan sesepuh Desa, memutuskan Mbah Jongkiling beserta ketiga teman seperguruannya untuk pergi ke sarang perampok tersebut. Dengan keyakinan dan keberanian yang dimiliki Mbah Jongkiling dan teman-temannya, mereka berkelahi melawan sekelompok perampok tersebut, dan kemenanganpun ada di pihak Mbah Jongkiling dan teman-temannya tadi. Akhirnya ketua dari para perampok tadi mengakui kekalahan mereka dan kesaktian Mbah Jongkiling dan ketiga temannya tadi, dan berjanji tidak akan merampok maupun mengganggu ketenangan dan ketentraman masyarakat Desa Mronjo.

  1. Mbah Jongkiling juga pernah beradu kesaktian dengan 2 (dua) orang pedagang dari Ponorogo.

Pada waktu itu Mbah Jongkiling sedang mencangkul sawah yang terletak di pinggir jalan di sebelah selatan Desa. Sudah menjadi kebiasaan atau ciri khas Mbah Jongkiling selalu terbatuk-batuk dengan nada seperti orang yang berdehem, bahkan kedengaran seperti suara macan mengaum. Pada saat yang bersamaan lewat 2 (dua) orang pedagang beras yang berasal dari Ponorogo. Kedua pedagang tersebut merasa tersinggung dengan batuk/deheman dari Mbah Jongkiling. “ Hei pak tani, kenapa dari tadi kamu selalu berdehem pada kami?” tanyanya. “Maaf saya tidak bermaksud apa-apa, karena deheman tersebut sudah menjadi ciri-wanci saya”. jawab Mbah Jongkiling. Nampaknya kedua pedagang tersebut tidak terima dengan jawaban Mbah Jongkiling, kemudian terjadi adu mulut diantara mereka. “Apa memang sudah sakti benar kamu, sehingga berani menjajal orang dari Ponorogo?” tanya salah seorang pedagang tersebut dengan nada penuh tantangan dan amarah. Dengan santai Mbah Jongkiling menjawab, “apa yang harus aku takutkan terhadap kalian berdua?”. Jawaban tersebut membuat kedua orang dari Ponorogo tersebut semakin naik pitam, dan keduanya menyiapkan jurus untuk menghadapi Mbah Jongkiling. Perkelahianpun tak terhindarkan. “Ayo pukulkan kedua pikulan kalian ke tubuhku!” teriak Mbah Jongkiling. Serta merta kedua orang tersebut dengan sekuat tenaga dan kesaktian yang dimilikinya mengayunkan pikulannya kearah Mbah Jongkiling. Praakk!!, terdengar suara bamboo pikulan mengenai tubuh Mbah Jongkiling yang memang dengan sengaja menerima pukulan tadi. Anehnya, tak sedikitpun tubuh Mbah Jongkiling terluka atau bergeser dari tempatnya berdiri. Bahkan dengan secepat kilat Mbah Jongkiling meraih kedua orang tersebut, dan membantingnya ke sawah, hingga baju kebesaran yang dikenakan keduanya kotor terkena lumpur. Kedua pedagang beras dari Ponorogo tersebut mengakui kekalahannya dan selanjutnya tidak akan pernah lagi mengganggu terhadap Mbah Jongkiling atau kepada warga masyarakat.

Demikian sepenggal cerita mengenai Mbah Jongkiling, yang hingga meninggalpun seakan beliau tidak bisa menerima apabila Desa rintisannya dijarah oleh orang-orang jahat. Namun sayangnya sampai dengan saat ini tidak diketahui keturunan atau silsilah dari Mbah Jongkiling. Ada cerita, karena kesaktiannya dan mandalami ilmu tertentu sehingga beliau tidak mempunyai keturunan.

 

  1. Tegopati

Menurut cerita dari nara sumber, Mbah Tegopati adalah salah satu dari empat orang yang babat pertama kali Desa Mronjo. Beliau adalah keturunan Cina, tetapi mempunyai guru dari jawa dan memeluk agama kejawen yang ada pada saat itu. Adapun setelah meninggal beliau dimakamkan dimana hingga saat ini belum dikatehui keberadaannya termasuk silsilah keluarganya. Besar kemungkinan beliau dimakamkan di Desa-Desa sekitar Desa Mronjo.

 

  1. Onggopati

Nama beliau juga diakui keberadaannya sebagai sesepuh Desa Mronjo dan juga termasuk orang yang turut babad tanah Mronjo. Adapun cerita yang berkembang di masyarakat, beliau sesudah meninggal di makamkan di Desa Wonorejo Kecamatan Talun, yang memang berdekatan dengan Desa Mronjo. Salah satu keturunan dari beliau adalah Mbah Lurah sepuh.

 

  1. Kyai Jodang

Beliau merupakan teman seperguruan dari ketiga sesepuh dan perintis Desa Mronjo yang sudah disebutkan diatas. Menurut cerita darti nara sumber, beliau mempunyai ciri yaitu : hanya mempunyai satu kaki. Tetapi mempunya kesaktian yang sama dengan teman-teman seperguruannya.

Gambar 14 : Makam keramat di Desa Mronjo yang diyakini sebagai makam Mbah Jongkiling dan temannya sebagai cikal-bakal

Desa Mronjo

 

Riwayat Asal Usul Nama Desa Mronjo

Riwayat atau sejarah nama Desa Mronjo, yang penulis dapatkan merupakan gabungan dari beberapa pendapat para tokoh sepuh yang ada di Desa Mronjo. Walaupun keterangan yang diperoleh dari masing-masing orang tuadi Desa Mronjo tidaklah lengkap, namun dengan cara menggabungkan beberapa keterangan dapatlah disusun suatu riwayat tentang sejarah nama Desa Mronjo. Adapun cerita yang diperoleh penulis adalah sebagai berikut :

Pendapat pertama :

Cerita ini erat kaitanya dengan keempat orang yang babad pertama kali Desa Mronjo. Pada waktu itu maha guru dari keempat orang yang babat Desa yaitu ; Mbah Jongkiling, Mbah Tegopti, Mbah Onggopti dan Mbah Kyai Jodang, merasa sangat kangen dan ingin mengetahui keberhasilan keempat muridnya yang telah diutus untuk membuka lahan baru tersebut. Maka pergilah sang maha guru tersebut menemui keempat muridnya. Tidak terasa sang guru tersebut sudah berhari-hari tinggal di daerah yang telah berhasil dibuka oleh keempat muridnya tadi. Karena masih kerasan sang guru memerintahkan kepada salah satu muridnya untuk memberitahukan kepada istrinya bahwa beliau masih bebarapa waktu lagi tinggal di wilayah tersebut. Ketika hal tersebut disampaikan kepada istri sang guru, justru beliau bersikeras ingin ikut untuk menemui suaminya dan sekaligus melihat daerah yang telah dirintis oleh keempat murid suaminya.. maka diusunglah istri dari sang guru tersebut menggunakan Bronjong (sebuah tempat tidur besar yang yang ditutupi dengan kelambu atau kerobong). Begitu istrinya sampai di daerah yang dituju, sang guru tersebut bertanya kepada para muridnya apakah daerah yang telah dibuka tadi sudah diberi nama? Ketika dijawab belum, maka sang guru tersebut memerintahkan agar wilayah tersebut diberi nama : Bronjong. Hingga akhirnya lama-kelamaan berubah menjadi : Mronjo.

 

Pendapat Kedua :

Pada waktu dulu daerah di sekitar Desa Mronjo adalah merupakan daerah hutan belantara yang masih banyak dihuni oleh binatang buas, termasuk salah satunya adalah Harimau. Sehingga setiap akan bepergian para penduduk harus menggunakan Bronjong atau semacam keranjang besar yang terbuat dari bambu, yang dipergunakan oleh warga untuk melindunhgi diri dari terkaman binatang buas. Selain itu Bronjong juga digunakan sebagai jebakan binatang buas termasuk harimau. Seiring dengan perkembangan jaman kemudian nama Bronjong kemudian berubah menjadi : Mronjo.

Dua cerita diatas semakin menguatkan bahwa nama Desa Mronjo berasal dari kata : Bronjong.

Pendapat ketiga :

Pendapat ini mengatakan bahwa nama Mronjo berawal dari ketika waktu itu Mbah Jongkiling terlibat adu kesaktian dengan adik seperguruan lainnya yang bernama Mbah Tirto. Karena sama-sama saktinya hingga terjadi pertumpahan darah, yang menyebabkan usus dari Mbah Tirto terburai keluar (Mrojol). Maka dari kata Mrojol tersebut selanjutnya daerah tersebut diberi nama .

Pendapat keempat :

Dahulu ada salah seorang Kepala Desa yang bernama mbah Morejo yang mempunyai kebiasaan mencari ikan. Dalam mencari ikan beliau selalu menggunakan buah Meron, bentuk buahnya berdompol. Selanjutnya dalam  yang pemakaiannya buah tersebut ditumbuk sampai halus kemuadian di sebar ke sungai yang bisa menyebabkan ikan menjadi mabuk sehingga menjadi mudah untuk ditangkap. Sebagai seorang Kepala Desa tentu saja Mbah Morejo sering dicari oleh warganya baik para tokoh masyarakat maupun oleh warga biasa. Karena ketika dicari Mbah Morejo selalu tidak ada di rumah dan beliau lebih sering Meron atau mencari ikan di sungai, maka lama kelamaan dijuluki : Meronjo. Dan akhirnya menjadi nama Desa Mronjo. Pendapat keempat ini sangat lemah unsur sejarahnya, karena sebelum mbah Morejo sudah ada Kepala Desa di Desa Mronjo.

Namun kesimpulan dari keempat pendapat tersebut diatas, kami serahkan sepenuhnya kepada para pembaca yang budiman untuk menilainya dan mengambil hikmah dan makna berdasarkan intisari dari masing-masing riwayat yang telah penulis sampaikan.

 

  1. Perkembangan Kebudayaan Desa Mronjo
    1. Organisasi Sosial Budaya

Kehidupan pada masyarakat Desa Mronjo mengenai sosial budayanya tidak jauh berbeda dengan masyarakat Desa lainnya. Oleh karena itu pada kehidupan masyarakat tersebut terdapat beberapa kelompok sosial budaya yang bermacam-macam, mereka hidup berdampingan, dan selalu mengutamakan kepentingan masyarakat disekitarnya dari pada kelompok mereka sendiri. Dari sosial budaya yang berbeda-beda akan tetapi mau bahu-membahu dalam masyarakat, menunjukkan bahwa masyarakat Desa Mronjo juga terus mengalami kemajuan dalam berbagai bidang, baik di bidang pertanian, keolah-ragaan, kepemudaan maupun kelembagaan lainnya.

Beberapa lembaga, kelompok ataupun perkumpulan kemasyarakatan yang hingga saat ini masih eksis dan berkembang di Desa Mronjo, antara lain :

  1. Badan Permusyawaran Desa (BPD)
  2. Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Desa (LPMD)
  3. Lembaga Rukun Kematian
  4. Kelompok PKK
  5. Kelompok Dasa Wisma
  6. Karang Taruna
  7. Rukun Tetangga
  8. Rukun Warga
  9. Kelompok kegiatan Yasinan
  10. Organisasi Kesenian Jaranan
  11. Organisasi kesenian Islami (HIMMATA)
  12. Organisasi Kesenian Diba’an
  13. Organisasi Kesenian Jedoran
  14. Organisasi Kesenian Ambiyoan
  15. Organisasi Kesenian Karawitan
  16. Organisasi Keolahragaan (Klub Sepak bola, Volly, tenis meja dan lain-lain).

 

 

  1. Bentuk Ritual Upacara Adat

Selain dari organisasi sosial budaya seperti yang telah disebutkan diatas, didalam kehidupan di masyarakat Desa Mronjo masih terdapat suatu kelompok yang kegiatannya dilakukan pada waktu tertentu.

 

  1. Upacara Bersih Desa

Upacara bersih Desa tidak hanya ada di Desa Mronjo  saja, akan tetapi semua Desa di Kabupaten Blitar. Akan tetapi bersih Desa yang dilakukan oleh masyarakat Desa Mronjo, mungkin sedikit berbeda dengan yang dilakukan oleh Desa-Desa lainnya pada umumnya. Jika pada umumnya bersih Desa dilaksanakan pada bulan Suro. Maka upacara bersih Desa di Desa Mronjo diadakan pada bulan Agustus yang sekaligus dalam rangka peringatan Hari Jadi Kabupaten Blitar dan HUT Kemerdekaan Republik Indonesia.

Akan tetapi inti acara atau ritual acara yang ada didalamnya adalah sama, misalnya : sehari sebelumnya ada upacara ruwatan, dan pada malam berikutnya diadakan Pengajian Umum kemudian diteruskan dengan wayangan semalam suntuk.

Meskipun demikian di bulan Suro tetap diadakan selamatan namun lebih bersifat ke wilayah dusun masing-masing, yaitu : Bersih Dusun. Biasanya diadakan di perempatan jalan, di perempatan gang-gang kecil dan juga diadakan di rumah para Kepala Dusun masing-masing.

 

  1. Upacara Kirim Dawuhan

Bagi para petani ada upacara tahunan yang biasanya dilakukan secara bersama-sama, yaitu semacam gerakan membersihkan saluran air, upacara tersebut dinamakan : Kirim Dawuhan.

Kirim Dawuhan diawali dengan gotong royong membersihkan saluran air, mulai gorong-gorong hingga sungai-sungai yang mengalir ke sawah-sawah, setelah itu kajatan, yaitu doa dan niat khusus berkaitan dengan kirim dawuhan, kemudian diakhiri dengan Kenduri bersama.

 

  1. Upacara Methik

Methik biasanya dilakukan oleh para petani setelah musim panen. Biasanya diadakan ditengah sawah oleh beberapa orang yang saat itu ada di sekitar sawah. Dimulai dengan membaca Kajatan kemudian Kenduri bersama.

 

  1. Upacara Selamatan (Metri) untuk orang hamil

Tingkepan adalah selamatan tujuh bulan bagi wanita yang hamil untuk pertama kalinyabagi seorang wanita yang hamil kedua kalinya selamatan hamil tujuh bulan boleh diadakan atau tidak diadakan, sedangkan untuk wanita yang hamil ketiga kalinya selamatan tujuh bulan kehamilannya disebut : Madeking.

 

  1. Upacara Selamatan (Metri) untuk anak baru lahir

 Brokohan, diadakan ketika bayi baru lahir

-Sepasaran, diadakan setelah usia bayi lima hari atau menunggu tali pisat si bayi putus (pupak puser) biasanya bersamaan dengan Pemberian nama untuk si bayi,

-Selapanan diadakan ketika bayi berumur 36 hari, telonan diadakan ketika bayi berumur 3 bulan, pitonan diadakan ketika bayi berumur 7 bulan, setahunan diadakan ketika bayi berumur 1 tahun, selanjutnya adalah ngampirne neton/netonan dilaksanakan setiap saat sesuai dengan hari pasaran orang tersebut dilahirkan.

 

  1. Upacara Selamatan untuk orang meninggal

-Buceng ungkur-ungkur, diadakan ketika orang baru meninggal,

Dzikir Fida’ diadakan selama 7 hari berturut-turut, yang didalamnya ada selamatan telung dinanan dan pitung dinanan, berikutnya selamatan empat puluh hari, seratus hari, pendak sepisan, pendak pindho, seribu hari dan pengeling-eling.

 

  1. Upacara selamatan yang lainnya

Sebenarnya masih banyak lagi upacara-upacara selamatan yang lainnya yang merupakan warisan kebudayaan dari nenek moyang Desa Mronjo, seperti nyadran, ruwatan dan masih banyak lagi. Seiring dengan berkembangnya agama Islam di Desa Mronjo, maka dalam melakukan upacara selamatan tersebut, juga dipergunakan cara-cara yang lebih islami.

 

  1. Kehidupan Religius Masyarakat Desa Mronjo

Suatu hal yang tidak mengherankan kalau masyarakat Desa Mronjo memiliki mental agama yang kuat, karena pendidikan agama sudah ditanamkam sejak masih kecil hingga ke tingkat dewasa. Hal ini bisa dibuktikan dengan adanya Taman kanak-kanak Islam, Taman Pendidikan Al Qur’an (TPA) untuk anak-anak, Madrasah Diniyah, Pondok Pesantren tingkat anak-anak sampai dewasa, kelompok pengajian remaja maupun dewasa, kelompok yasinan putra maupun putri dan masih banyak lagi perkumpulan keagamaan lainnya. Di Desa Mronjo terdapat 6 Masjid, mushola sebanyak 21, sehingga jumlah tempat ibadah agama Islam 27 tempat. Mayoritas penduduk Desa Mronjo adalah beragama Islam, namun demikian juga ada pemeluk agama lain, mereka dapat hidup berdampingan dan saling menghormati satu sama lain.